Berikutini merupakan resep olahan keong yang bisa kamu coba. Resep Masakan Dari Keong Sawah 1. Resep Keong Sawah Bumbu Rujak Bahan-bahan: Keong sawah 250 gr, cuci bersih dan direbus sebentar dengan api sedang, beri perasan air jeruk nipis supaya menghilangkan baunya, diamkan beberapa saat; Ayam bumbu rujak 1 bungkus instan; Daun jeruk 2 lembar
Indonesia adalah kawasan tropis yang dihuni oleh jutaan jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kondisi tanah yang subur dimanfaatkan oleh para petani untuk bercocok tanam. Di antara binatang yang sering berada di sekeliling para petani di lahan sawah mereka adalah belalang dan keong. Populasi keong yang begitu banyak, memunculkan sebuah ide kreatif untuk menjadikannya sebagai bahan komoditi yang bisa menghasilkan uang. Keong diolah menjadi makanan tertentu, lalu dijual, atau minimal dikonsumsi sendiri. Masalah yang muncul selanjutnya adalah, keong itu halal untuk dimakan atau tidak? Kalaupun halal, bagaimana cara menyembelihnya, sementara keong adalah binatang yang sangat licin tubuhnya dan tak memiliki darah yang mengalir? Berkaitan dengan halal haram hukum keong, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid pernah menyampaikan penjelasan secara singkat melalui website kumpulan fatwa beliau. Baca Juga Memakan Tulang Pada Menu Makanan Apa Ada Larangannya? Keong dalam bahasa arab diistilahkan dengan Halzun. Halzun ada dua jenis; Halzun darat di Indonesia, Halzun darat biasa disebut dengan Bekicot dan Halzun air atau Halzun laut. Halzun darat termasuk kategori binatang yang darahnya tidak mengalir. Sedangkan Halzun air itu termasuk spesies binatang bercangkang yang merupakan bagian dari binatang laut. Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Alamiyah disebutkan, Halzun adalah binatang laut yang tubuhnya lunak, dia termasuk bagian dari spesies binatang bercangkang. Hampir seluruh permukaan tubuhnya dibalut dengan cangkang. Ada pula jenis Halzun yang cangkangnya hanya menutupi sebagian kecil kulit bagian atas atau bawahnya. Tapi kebanyakan Halzun tidak memiliki cangkang pada tubuhnya. Halzun darat memiliki dua tanduk kecil yang masing-masing ujungnya terdapat mata. Halzun yang berwarna kelabu dan berukuran besar dianggap sebagai hama bagi tanaman. Sebab, dia memiliki tingkat kerakusan yang tinggi dalam memakan tumbuhan. Halzun jenis ini panjangnya bisa mencapai 10 cm. Keong Darat/Bekicot Terkait dengan hukum memakannya, para ulama menjelaskan bahwa Keong darat/bekicot termasuk kategori serangga Hasyarat. Sehingga hukum memakannya sama dengan hukum memakan serangga. Jumhur Ulama berpendapat bahwa memakan serangga hukumnya haram. Imam an-Nawawi menyatakan, “Mazhab para Ulama tentang serangga darat…menurut mazhab kami adalah haram. Abu Hanifah, Ahmad, Abu Daud juga menyatakan demikian. Sedangkan Malik berpendapat Halal’.” Al-Majmu’, Imam an-Nawawi, 9/16 Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Halzun darat tidak halal untuk dimakan, sebagaimana tidak halalnya jenis serangga-serangga yang lain baik yang bisa terbang ataupun yang tidak seperti Wazghah Cicak, Hunfusyah Kumbang, Naml Semut Nahl Lebah, Zhubab Lalat Dabbur Lebah Hornet, Dudah cacing, Qummal Kutu, Burghuts kutu anjing, Baqqah Kutu Busuk, Ba’udhah Nyamuk, dan spesies sejenis lainnya. Dalil pengharamannya adalah firman Allah, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ “Diharamkan bagimu memakan bangkai..” QS. Al-Maidah 3 Dan firman-Nya, إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ “Kecuali yang sempat kamu sembelih..” QS. Al-Maidah 3 Telah jelas bahwa yang dimaksud dengan menyembelih itu tidak bisa dilakukan kecuali pada leher ataupun dada binatangnya, sehingga binatang yang tak bisa disembelih itu tidak ada cara menghalalkannya untuk boleh dimakan. Oleh sebab itu dihukumi haram karena faktor dilarang memakannya, kecuali bangkai yang tidak disembelih haram karena wujudnya sebagai bangkai. Al-Muhalla, 6/76-77 Namun, Ulama mazhab Maliki tidak mensyaratkan pemberlakukan penyembelihan bagi hewan yang tidak mengalirkan darah, mereka menghukumi binatang seperti itu sama dengan hukum yang berlaku pada belalang; cara menyembelihnya diganti dengan cara direbus, atau dipanggang, atau dengan ditusuk dengan duri atau jarum hingga mati disertai dengan membaca bismillah. Baca Juga Berburu Dengan Senapan Angin, Daginya Halal? Imam Malik pernah ditanya tentang persoalan binatang—dikenal dengan sebutan Halzun darat—yang hidup di pohon-pohon tengah gurun pasir di wilayah Maghrib, apakah boleh dimakan? Beliau menjawab, Saya berpendapat binatang itu seperti belalang Jarrad. Halzun darat yang masih hidup yang kemudian direbus atau dipanggang; menurut saya tidak mengapa untuk memakannya, namun untuk Halzun darat yang sudah mati duluan bangkai jangan dimakan.” Al-Mudawwanah, 1/542 Abul Walid al-Baji rahimahullah menuliskan dalam kitabnya, “Jika memang demikian, maka hukum memakan Halzun darat itu sama dengan hukum memakan belalang. Imam Malik mengatakan, Cara menyembelihnya adalah dengan direbus atau dengan ditusuk menggunakan duri atau jarum hingga mati, dengan mengucpakan bismillah saat melakukan itu tentunya, sebagaimana metode yang dipakai dalam menyembelih dengan memutus kepala belalang.’” Al-Muntaqa Syar hal-Muwaththa’, Abul Walid Al-Baji, 3/110 Keong Air Atau Keong Laut Adapun tentang Keong air atau Keong laut, hukumnya halal. Hukum terhadap binatang ini termasuk dalam hukum keumuman binatang buruan laut yang halal untuk dimakan. Dalilnya firman Allah, أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” QS. Al-Maidah 96 Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah penjelasan ayat di atas dari Umar Bin Khattab radhiyallahu anhu, Shaiduhu adalah semua binatang yang diburu, wa tha’amuhu adalah segala yang dilemparkan tumbuh di laut. Baca Juga Biji Pala Haram Dikonsumsi Langsung, Benarkah Demikian? Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Syuraih, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, كُلُّ شَيءٍ فِي الْبَحْرِ مَذْبُوحٌ “Semua binatang yang ada di laut, sudah dianggap disembelih.” Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid menyimpulkan, boleh memakan kedua jenis Keong yang ada; Keong darat dan Keong air atau Keong Laut, meskipun harus dimasak hidup-hidup itu tidak masalah. Sebab Keong darat tidak memiliki darah yang mengalir yang menjadi sebab diharuskannya menyembelih menyembelih mengalirkan darah, dan Keong air atau Keong laut termasuk kategori binatang buruan dan makanan laut yang hukum dasarnya halal secara syar’i. Wallahu a’lam Sodiq Fajar/
IniPenjelasan MUI Foto: iStock. Sementara itu ketetapan haram mengonsumsi kepiting dinyatakan oleh para ulama mazhab Hanafi dan Syafi'i. Mereka berpendapat bahwa kepiting termasuk kategori khabaits. Menurut ulama mazhab Hanafi, binatang laut yang halal dikonsumsi hanyalah ikan. Sedangkan binatang lain selain ikan hukumnya haram. Bagi sebagian orang, bekicot mungkin bukan jenis makanan yang bisa dikonsumsi karena berlendir. Namun, banyak juga lho yang mengkonsumsi bekicot sebagai lauk makan sehari-hari. Nah, bagi Anda yang beragama Islam, sebetulnya boleh atau tidak ya makan makanan yang satu ini? Yuk simak hukum makan bekicot dalam Islam berikut ini. Hukum Makan Bekicot dalam Islam, Benarkah Dilarang? Bekicot memang bukan jenis makanan yang biasa kita makan sehari-hari. Namun, bukan berarti tak ada yang menyantap binatang yang satu ini. Hewan berlendir itu laris manis dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Namun, seiring makin banyaknya orang yang mengonsumsi bekicot, muncul pertanyaan bagi umat muslim, yaitu apakah bekicot halal untuk dimakan? Perdebatan pun mulai muncul. Sebagian umat muslim meyakini bahwa bekicot haram untuk dimakan karena tergolong sebagai hewan yang menjijikkan. Sikap ini bahkan datang dari organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Mengutip situs resmi NU, seorang ustadz bernama Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Rambipuji Jember mengatakan bahwa memakan bekicot hukumnya haram dalam agama Islam. Ini karena bagi orang Arab, hewan tersebut termasuk sebagai hewan yang menjijikkan atau istilahnya mustakhbas. Para ulama di Arab pun mengkategorikan bekicot atau yang biasa disebut halzun sebagai hewan yang haram untuk dimakan. Hal ini seperti disebutkan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra “Halzun hidup di dalam tempurung yang keras. Hewan ini dapat ditemukan di pinggir lautan dan di tepi sungai. Hewan ini mengeluarkan sebagian badannya dari dalam tempurung, lalu berjalan ke kanan dan ke kiri untuk mencari makanan. Ketika berada di tempat yang lembut dan basah, maka ia akan membeberkan diri. Dan ketika dia berada di tempat kasar dan kering, maka dia akan masuk ke dalam tempurung karena khawatir sesuatu akan menyakiti tubuhnya. Ketika dia berjalan, maka rumahnya juga bersamanya. Hukum mengonsumsi hewan ini adalah haram karena dianggap menjijikkan.” Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 234 Referensi inilah yang kemudian dipakai oleh Ustadz Ali Zainal Abidin untuk mengkategorikan bekicot sebagai hewan yang haram untuk dimakan. Bahkan, sekalipun anggapan menjijikkan itu diungkapkan oleh ulama Arab. Baca juga Tokoh agama beri fatwa vaksin haram, wabah difteri menyerang Purwakarta Bekicot Halal Dimakan Menurut MUI Meski demikian, polemik haram atau tidaknya bekicot tetap berlanjut hingga sekarang. Sebab, ada pula yang memiliki pandangan bahwa bekicot halal untuk dimakan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Majelis Ulama Indonesia MUI yang menyatakan bahwa halal hukumnya bagi umat muslim untuk mengonsumsi bekicot. Pandangan ini merujuk pada anggapan bahwa bekicot adalah hewan yang menjijikkan hanya berlaku bagi sebagian orang saja. Menjijikkan atau tidak sifatnya relatif dan berbeda-beda tiap orang, oleh karena itu, MUI pun memutuskan bahwa hewan ini boleh disantap oleh umat muslim. Mengutip situs resmi MUI, bekicot halal untuk dimakan karena alasan yang telah disebutkan di atas. Karena penilaian menjijikkan atau tidak adalah sesuatu yang belum pasti maka hukumnya juga tidak mengikat. Sementara, jika hukumnya tidak mengikat maka akan kembali pada hukum asal yaitu mubah. “Karena menjijikkan bagi seseorang, mungkin tidak bagi yang lain. Atau bahkan justru dibutuhkan bagi orang yang lain lagi. Jadi hal ini juga tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum yang pasti dan mengikat. Kalau tidak ada dalil atau nash yang jelas, maka menurut kaidah Fiqhiyyah, kembali kepada hukum asal, yakni mubah Al-ashlu fil-Asyyaa’i al-Ibahah, hukum asal segala sesuatu adalah mubah atau dibolehkan,” tulis MUI dalam laman resminya. Meski demikian, konsumsi bekicot bisa dilarang apabila beracun dan membahayakan kesehatan manusia. Oleh sebab itu, MUI menganjurkan agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai nutrisi yang ada di dalam bekicot. Namun, berdasarkan penjelasan para pakar, kandungan dalam bekicot hampir sama seperti empedu ayam, sapi, dan kambing. Jadi, bahan yang beracun itu pun masih bisa dinetralisir apabila diolah dengan cara yang tepat. Hukum Makan Tutut atua Keong Sawah dalam Islam Sumber Shutterstock Bagi orang Indonesia, memakan bekicot mungkin hal yang jarang dilakukan. Namun umumnya tutut sawah sering dikonsumsi sebagai lauk atau cemilan yang dianggap rasanya mirip seperti kerang hijau. Berbeda dengan bekicot atau escargot yang biasanya hanya dihidangkan di restoran Eropa, hidangan tutut sawah sangat mudah dijumpai di warung-warung pinggir jalan, bahkan dijual di pasar malam. Banyak orang menyukai rasanya dan sensasi menusuk daging tutut dengan tusuk gigi agar bisa dikeluarkan dan dikonsumsi. Lalu, bagaimana Islam memandang konsumsi tutut yang sekilas mirip dengan bekicot ini? Melansir dari laman Bincang Syariah, terkait halal dan haramnya mengonsumsi keong sawah masih menjadi perdebatan di kalangan ulama Syafi’iyah. Ada yang menghalalkan, ada pula yang mengharamkan. Ulama yang menyatakan bahwa tutut boleh dimakan karena termasuk hewan air yang dihalalkan, ialah Imam Ar-Ramli, Ad-Damiri, dan Khatib Al-Syirbini. Sedangkan mereka yang menyatakan keong sawah haram dikonsumsi ialah Imam Ibn Hajar, Ibn Abdissalam dan Az- Zarkasyi. Pendapat MUI tentang Hukum Makan Tutut dalam Islam Sumber Shutterstock Sementara itu, MUI sendiri menyatakan bahwa konsumsi tutut atau keong sawah termasuk halal. Karena tutut termasuk hewan air, dan tidak bisa hidup di dua alam. Meskipun tutut bisa hidup di darat, namun hanya sebentar. MUI mendasarkan pendapatnya pada Qur’an surat Al Maidah ayat 5 yang berbunyi “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu…” QS. Al-Maidah, 5 96. Imam Asy-Syaukani mengatakan “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu ditangkap, baik itu sungai atau kolam.” lihatlah Fathul Qodir, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, 2/361, Mawqi’ At-Tafasir. Oleh karena itulah, berdasarkan dalil ini, MUI menyatakan konsumsi tutut atau keong sawah halal untuk dilakukan umat muslim. *** Nah, Parents, itulah hukum makan bekicot dan tutut dalam Islam. Semua kembali ke diri masing-masing karena baik penjelasan dari NU maupun MUI memiliki rujukan yang jelas. Yang terpenting adalah bersikap hati-hati, jika Anda memiliki keraguan atas halal atau haramnya makanan tersebut, sebaiknya jangan dikonsumsi. Semoga informasi di atas membantu ya! Baca juga Imunisasi dalam islam boleh dilakukan, ini hukumnya Oral Seks Untuk Suami atau Istri, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam? Benarkah vaksin tidak halal? Ini jawaban MUI untuk kaum anti vaksin Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android. Infojual pompa alkon jenis keong ± mulai Rp 7.000 murah dari beragam toko online. cek Pompa Alkon Jenis Keong ori atau Pompa Alkon Jenis Keong kw sebelum memb Anda bisa mencari produk ini di Toko Online yang mungkin jual Pompa Alkon Jenis Keong. *Informasi Harga dan Gambar berasal dari Marketplace sumber (Tokopedia / Shopee / Toko online Oleh Dr. Maulana Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat dan Sholahudin Al-Aiyub, Wakil Sekretaris MUI Pusat Bidang Fatwa Dalam kaidah Syariah hukum Islam, sejatinya ketentuan halal atau haram itu merupakan hak prerogatif Allah dan Rasul-Nya, yang disebutkan di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Orang tidak boleh menetapkan sesuatu itu halal atau haram, tanpa merujuk pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Perhatikanlah makna ayat yang tegas menyatakan, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” An-Nahl, 16 116. Sedangkan ketentuan dalam Hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah sesuai dengan penetapan ayat “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” Al-Hasyr, 59 7. Selanjutnya, dalam aspek bahan yang dikonsumsi, Al-Quran dan Al-Hadits menjelaskan haram itu sudah tentu jumlah serta jenisnya sangat sedikit. Selebihnya dari yang ditetapkan. Haram yang jumlah dan jenisnya jauh lebih banyak, adalah halal untuk konsumsi umat manusia sebagaimana firman Allah “Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi halal untuk kamu sekalian.” Al-Baqarah, 2 29. Termasuk diantaranya adalah hewan Keong Sawah Pila ampullaceal karena, tidak ada satu pun nash yang menyebutkan secara Sharih, atau eksplisit, bahwa hewan ini haram dikonsumsi. Apalagi, Keong Sawah yang populer di masyarakat disebut “Tutut” itu termasuk hewan air. Tidak hidup di dua alam, meskipun ia bisa hidup di darat selama beberapa saat. Ia bukan jenis hewan Barma’iyyun, ungkapan dengan gabungan dari kata Barrun artinya daratan, dan Maa’un bermakna air; atau hewan yang hidup di dua alam. Pada prinsipnya, hewan air hukumnya halal dikonsumsi, berdasarkan nash dari Al-Quran maupun Al-Hadits Nabi saw. Di antaranya, ayat yang menyebutkan, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu…” QS. Al-Maidah, 5 96. Yang dimaksud dengan air di sini bukan hanya air laut, namun termasuk juga hewan air tawar. Karena pengertian “al-bahru al-maa’ “ adalah kumpulan air yang banyak. Imam Asy-Syaukani mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu ditangkap, baik itu sungai atau kolam.” lihatlah Fathul Qodir, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, 2/361, Mawqi’ At-Tafasir. Sedangkan Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan, “Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” HR. Abu Dawud no. 83, An Nasai no. 59, At Tirmidzi no. 69. Secara umum, Keong sawah juga tidak mengandung unsur Khobaits, atau lebih spesifik lagi unsur Istiqdzar, hal yang dianggap menjijikkan. Berbeda dengan siput atau bekicot, jenis keong juga, yang hidup di darat, dan ada yang menyatakannya menjijikkan, bahkan mengandung zat racun yang berbahaya bila dikonsumsi. Namun pendapat bahwa bekicot itu menjijikkan juga sebagai Lil-Ihthiyati, untuk kehati-hatian. Masalah menjijikkan itu sendiri dihukumi haram, merupakan pendapat dalam Madzhab Syafi’i. Sedangkan tiga Imam Madzhab yang lain, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali, menyatakan, menjijikkan itu tidak merupakan faktor yang menyebabkannya menjadi haram. Selanjutnya, pendapat yang menyatakan hewan yang hidup di dua alam itu sebagai hewan yang haram dikonsumsi, juga merupakan pendapat dalam Madzhab Syafi’i dan Hanbali, sedangkan dalam Madzhab Hanafi dan Maliki tidak mengharamkannya. Menurut Imam Hanafi dan Maliki, hewan meskipun dianggap hidup di dua alam, namun ia tetap dihukumi satu dengan melihat kondisi faktualnya. Kalau hewan itu lebih banyak hidup dan berkembang biak di air, sebagai indikatornya, maka dihukumi sebagai hewan air. Tapi kalau lebih banyak hidup dan berkembang biak di darat, maka ia dihukumi sebagai hewat daratan. Maka kesimpulannya, menurut pendapat Madzhab Syafi’i yang terkenal lebih ketat saja, mengkonsumsi Keong Sawah itu hukumnya halal. Demikian pula pendapat jumhur mayoritas ulama dan Imam madzhab yang lain. Adapun bahasan tentang kandungan gizinya, maka dipersilakan untuk mengkonsultasikannya dengan pakar ahli gizi. Wallahu a’lam. A/R03/P1 Mi’raj News Agency MINA VIVA- Indonesia Bitcoin and Crypto Exchange (Indodax) buka suara terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menetapkan uang kripto haram.Penilaian ini diumumkan usai digelarnya Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pekan ini. Indodax merespons dan menganggap, MUI mengharamkan aset kripto untuk dijadikan sebagai mata uang tapi tetap sah diperjualbelikan sebagai sebuah komoditas dengan Saat ini kami mengangkat bahasan makanan bekicot atau keong. Di sebagian daerah sangat menyenangi makanan ini. Namun sebagian orang tidak menyukai dan menyatakan haram. Bagaimana tinjauan dalam masalah hewan yang satu ini? Bekicot itu ada dua macam, ada bekicot darat dan bekicot air. Adapun bekicot darat digolongkan sebagai hasyarot hewan kecil di darat seperti tikus, kumbang, dan kecoak [1] yang tidak memiliki darah mengalir. Adapun bekicot air disebut keong digolongkan sebagai hewan air. Mari kita tinjau satu per satu dari jenis bekicot ini. Hukum Bekicot Darat Bekicot darat termasuk dalam hukum hasyarot hewan kecil yang hidup di darat. Jumhur mayoritas ulama mengharamkan hasyarot. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ 9 16 berkata, في مذاهب العلماء في حشرات الارض كالحيات والعقارب والجعلان وبنات وردان والفار ونحوها مذهبنا انها حرام وبه قال أبو حنيفة وأحمد وداود وقال مالك حلال “Dalam madzhab ulama dan madzhab kami Syafi’iyah, hukum hasyarot seperti ular, kalajengking, kumbang, kecoak, dan tikus itu haram. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Daud Azh Zhohiri. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa hasyarot itu halal.” Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, ولا يحل أكل الحلزون البري , ولا شيء من الحشرات كلها كالوزغ ، والخنافس , والنمل , والنحل , والذباب , والدبر , والدود كله – طيارة وغير طيارة – والقمل , والبراغيث , والبق , والبعوض وكل ما كان من أنواعها ؛ لقول الله تعالى حرمت عليكم الميتة ؛ وقوله تعالى إلا ما ذكيتم ، وقد صح البرهان على أن الذكاة في المقدور عليه لا تكون إلا في الحلق ، أو الصدر , فما لم يقدر فيه على ذكاة فلا سبيل إلى أكله فهو حرام ؛ “Tidak halal memakan bekicot darat dan setiap hasyarot lainnya seperti cecak, kumbang, semut, lebah, lalat, seluruh cacing, kutu, dan nyamuk karena Allah Ta’ala berfriman yang artinya, “Kecuali yang kalian bisa menyembelihnya”. Dalil menunjukkan bahwa penyembelihan hanya boleh dilakukan pada tenggorokan atau di dada. Sedangkan yang tidak mampu disembelih, maka jelas tidak boleh dimakan dan makanan seperti ini dihukumi haram.” Al Muhalla, 7 405 Sedangkan ulama Malikiyah tidak menyaratkan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir untuk melalui proses penyembelihan. Mereka menjadikan hukum hasyarot sebagaimana belalang, cukup penyembelihannya dengan cara direbus, dipanggang, atau ditusuk dengan garpu atau jarum hingga mati namun disertai menyebut bismillah’. Al Mudawanah, 1 542 Imam Malik pernah ditanya tentang suatu hewan di daerah Maghrib yang disebut halzun bekicot yang biasa berada di gurun dan bergantungan di pohon, apakah boleh dimakan? Imam Malik menjawab, “Aku berpendapat bekicot itu semisal belalang. Jika bekicot ditangkap lalu dalam keadaan hidup direbus atau dipanggang, maka tidak mengapa dimakan. Namun jika ditemukan dalam keadaan bangkai, tidak boleh dimakan.” Muntaqo Syarh Al Muwatho’, 3 110 Hukum Bekicot Air Keong Bekicot air keong termasuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan halalnya hewan air. Allah Ta’ala berfirman, أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ “Dihalalkan bagimu binatang buruan air dan makanan yang berasal dari air.” QS. Al Maidah 96. Yang dimaksud dengan air di sini bukan hanya air laut, namun juga termasuk hewan air tawar. Karena pengertian “al bahru al maa’ “ adalah kumpulan air yang banyak. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang di dalamnya terdapat hewan air untuk diburu ditangkap, baik itu sungai atau kolam.” Fathul Qodir, 2 361, Asy Syamilah. Dalam perkatan yang masyhur dari Ibnu Abbas, yang dimaksud “shoidul bahr” dalam ayat di atas adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup, sedangkan yang dimaksud “tho’amuhu” adalah bangkai hewan air Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 5 365. Yang dimaksud bangkai hewan air adalah yang mati begitu saja, tanpa diketahui sebabnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia mengatakan, سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ». “Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 59, At Tirmidzi no. 69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ “Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih Syuraih –sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam– berkata, كُلُّ شَىْءٍ فِى الْبَحْرِ مَذْبُوحٌ “Segala sesuatu yang hidup di air telah disembelih artinya halal.” Disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya Syaikh Sholeh Al Munajjid [2] hafizhohullah berkata, جواز أكل الحلزون بنوعيه البري والبحري ، ولو طبخ حيّاً فلا حرج ؛ لأن البري منه ليس له دم حتى يقال بوجوب تذكيته وإخراج الدم منه ؛ ولأن البحري منه يدخل في عموم حل صيد البحر وطعامه . “Boleh saja memakan dua jenis bekicot yaitu bekicot darat dan bekicot air. Sekalipun dimasak hidup-hidup, tidaklah masalah. Karena bekicot darat itu tidak memiliki darah yang mengalir, lantas bagaimana mungkin dikatakan wajib disembelih. Sedangkan bekicot air termasuk dalam keumuman ayat “Dihalalkan bagimu binatang buruan air dan makanan yang berasal dari air.” Fatawa Al Islam Sual Wa Jawab no. 114855 Kesimpulan penulis adalah seperti yang dipilih oleh ulama Malikiyah dan Syaikh Sholeh Al Munajjid, bekicot itu halal, baik bekicot darat maupun bekicot air. Adapun bekicot darat tidak boleh dimakan jika mati dalam keadaan bangkai. Sedangkan cara menyembelih bekicot karena tidak memiliki darah yang mengalir adalah dengan dipanggang, dimasak, atau direbus hidup-hidup sambil mengucapkan bismillah’. Adapun keong mas sama dengan hukum bahasan di atas, terserah keong mas tersebut hidup di darat atau di air, atau dua-duanya. Bagi yang merasa jijik dengan makanan ini, silakan tidak memakannya. Yang kami bahas di sini adalah halal ataukah tidak hewan ini. Adapun yang tidak menyukai, yah monggo silakan. Kami pun tidak memerintahkan untuk menyantap makanan ini. Kami berpedoman pada hukum asal makanan itu halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya atau tidak ada alasan untuk mengharamkan. Adapun menjijikkan itu bersifat relatif, kadang satu orang dan lainnya berbeda. Sedangkan jika bekicot atau keong memiliki racun sehingga berbahaya ketika dimakan, maka dari sisi ini diharamkan. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Wallahu a’lam. Maktabah Jaliyat, Bathah, Riyadh KSA, 21 Muharram 1433 H Baca Juga Apakah Monyet Halal? Halalkah Belalang? [1] Lihat Al Mathla’ ala Abwabil Fiqh, 228 [2] Syaikh Sholeh Al Munajjid adalah da’i di kota Dammam, KSA. Beliau lama berguru dengan Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti dan ketua Al Lajnah Ad Daimah di Kerajaan Saudi Arabia di masa silam. Beliau memiliki website tanya jawab islamOleh Wawan Susetya* ADA banyak sudut pandang atau wawasan mengenai ajaran Agama Islam yang digali dari unsur alam atau identik dengan kearifan lokal di Jawa yang kemudian lebih dikenal dengan Islam Jawa. Barangkali pandangan atau wawasan keislaman seperti itu terkesan aneh, tetapi setelah direnungkan lebih dalam, ternyata malah terasa nyampleng (pas) terutama ketika untuk menjelaskan []